Kamis, 22 Januari 2009

to be a greeners


BERAWAL DARI KRISIS LINGKUNGAN
Krisis lingkungan hidup yang kita hadapi saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan pemahaman manusia, yang berbasis pada cara pandang antroposentris. Pandangan ini menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta, sementara alam seisinya hanyalah alat bagi pemuasan kepentingan mereka.

Kesalahan cara pandang tersebut telah menyebabkan kekeliruan manusia dalam menempatkan diri ketika berperilaku di dalam ekosistemnya. Akibat dari kekeliruan tersebut telah menimbulkan berbagai bencana lingkungan hidup yang akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri.

Menurut Keraf (2002), kesalahan fundamental filosofis yang terjadi pada manusia adalah bahwa mereka menempatkan posisi dirinya sebagai pusat dari alam semesta, sehingga mereka dapat melakukan apa saja terhadap alam demi pemenuhan segala kebutuhannya. Dengan kata lain, sumberdaya yang lain diposisikan sebagai sub-ordinatnya.

Kesalahan cara pandang yang demikian ternyata telah menyebabkan krisis lingkungan yang berkepanjangan, dan kita sadari sumbernya terletak pada masalah moral manusia untuk mematuhi etika lingkungan. Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, dan itu berkaitan dengan perilaku manusia (Keraf, 2002). Dengan demikian krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya.

Penanaman nilai moral tidak dapat dilakukan secara mendadak, tetapi harus mengikuti perjalanan hidup manusia, mulai dari anak-dewasa hingga tua. Sutaryono (1999) mengistilahkannya sebagai pendidikan sepanjang usia (life long education).

LET’S BE THE GREENERS…

Be A greener… tidak selalu suka yang hijau, baju hijau sampai menggunakan softlense yang hijau. Ini hanya sebuah slogan personalitas kita untuk lingkungan. Mempertahankan kelestarian lingkungan, hijaunya hutan, beningnya sungai dan laut dan yang penting mengubah perilaku dan kebiasaan kita untuk tetap friendly terhadap lingkungan. Begitu juga dalam kegiatan kehidupan social ekonomi dan budaya.

KONSUMEN HIJAU
Konsumen hijau menurut Fotopoulos dan Krystallis (2002) dibedakan menjadi konsumen yang tidak sadar (unaware consumers), konsumen yang sadar tetapi bukan pembeli (aware non-buyers), dan konsumen yang sadar dan membeli (aware buyers). Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok konsumen yang sadar dan yang tidak sadar, yaitu tingkat pendidikan yang rendah dan hidup di wilayah negara yang jauh dari pusat produksi produk-produk hijau yang ramah lingkungan. Perbedaan lainnya juga terjadi antara pembeli dan bukan pembeli, karena orientasi mereka pada keseimbangan ekologi lingkungan.

Kegiatan konsumsi rumah tangga seorang konsumen memiliki potensi besar pada kegiatan penggunaan sumber daya dan energi yang memungkinkan terjadinya efek rumah kaca dan hujan asam. Kenyataan yang tidak disadari masyarakat konsumen antara lain adalah adanya lampu menyala yang tidak digunakan, membuang sampah sembarangan, pemborosan air bersih, pemakaian aerosol yang menyebabkan low-level ozon, kemasan plastik yang berlebihan. Oleh karena itu, penghematan penggunaan sumber daya dan energi harus dimulai dari konsumsi individu karena semakin sedikit energi yang digunakan akan mengurangi terlepasnya karbon dioksida ke atmosfir, dan ini berarti mengurangi masalah-masalah lingkungan yang ada.
Ada beberapa perilaku dan kebiasan yang bijak untuk dilakukan dalam menghadapi krisis lingkungan:

1. Minimisasi penggunaan minyak goreng
Dengan alasan minyak goreng terbuat dari kelapa sawit yang berasal dari perkebunan-perkebunan yang dibuat dengan cara membabat hutan.Kemudian proses pengolahan kelapa sawit hingga menjadi minyak goreng menyebabkan terlepasnya gas CO2, salah satu gas pembentuk efek rumah kaca yang menyebabkan peningkatan suhu bumi. Setelah menjadi minyak goreng dan digunakan setidaknya 3 kali, jelantah ternyata menjadi sampah yang merusak tanah.
2. Rumputnisasi
bukan semenisasi
Mengganti lantai semen dengan rumput atau menggunakan paving block pada halaman rumah dapat memberikan efek yang ramah lingkungan. Selain indah dan hijau, mampu menyerap air limpasan dari air hujan.
3. Koran, surat, berita Online
Dengan menggantikan Koran, majalah dan surat yang terbuat dari kertas dengan online, maka dapat menghemat penggunaan pohon sebagai bahan bakunya.
4. No plastic
Gunakan peralatan bukan dari plastic, kalau pun dari plastic adalah dari bahan daur ulang. Gunakan perlatan makanan dari keramik dan kaca. Sehingga memperkecil penggunaan plastic yang tak dapat didegradasi.
5. Kantong belanjaan sendiri
Dengan adanya pusat perbelanjaan yang makin banyak, maka penggunaan kemasan dan bungkusan dari plastic. Perlu kesadaran sendiri untuk menggantikannya dengan kantong bawaan sendiri yang bisa digunakan beberapa kali.